Cara sutradara menyampaikan cerita sangat menarik; beberapa kali adegan-adegan yang terkesan sepintas disorot dengan detil, seperti zoom-in kamera pada hal-hal kecil atau suara radio menyiarkan berita-berita anyar. Tentu kita segera curiga, lumrah dalam film hal-hal kecil yang disorot berarti informasi penting dalam plot cerita. Memang benar, tapi siapa yang menyangka kalau Aurora Borealis yang disorot di awal (baik visual maupun audio dari siaran berita radio) menjadi kunci dari cerita?
Aurora Borealis di langit Alaska, Amerika Serikat.
Partikel bermuatan listrik dipengaruhi oleh medan magnet, yang dalam fisika disebut dengan gaya Lorentz,
Partikel-partikel ini kemudian mengalami percepatan menuju Bumi karena dipengaruhi oleh gaya gravitasi Bumi. Begitu mengenai molekul-molekul yang ada di lapisan atmosfer Bumi (seperti oksigen dan nitrogen), mereka bertabrakan (collision) dan sebagian besar molekul mengalami keadaan eksitasi. Keadaan eksitasi molekul tidak berlangsung lama karena keadaan ini tidak stabil. Elektron-elektron dalam molekul udara tersebut segera turun ke keadaan dasar disertai pelepasan energi berupa cahaya tampak. Inilah yang disebut aurora. Karena angin Matahari tadi hanya masuk dari arah langit Utara dan langit Selatan, maka aurora hanya dapat disaksikan di belahan Bumi Utara dan Selatan.
Si penulis cerita Frequency memanfaatkan fenomena ini dalam fantasinya. Dalam film Frequency, fenomena aurora tertangkap oleh antena radio (radio komunikasi dua arah maksudnya) dan memungkinkan si pengguna radio berbicara dengan seseorang di masa berbeda (lalu atau depan) yang antena radionya sama-sama menangkap fenomena aurora. Dengan kata lain, fenomena aurora adalah gerbang komunikasi audio lintas dimensi waktu. Ini bukan time traveller, tapi cross-time communication. Sangat menarik.
Sisi lain yang membuat cerita ini menarik adalah tampilnya Brian Greene — penulis buku popular sains “The Elegant Universe” — dalam film yang berbicara tentang fenomena Aurora Borealis. Mungkin karena Greene menjadi konsultan film inilah maka ide “time traveller” yang “it’s good to be true” diganti dengan “cross-time communication” yang sepertinya lebih masuk akal. Greene memang layak diacungkan jempol atas usahanya memberantas kebodohan film-film sains-fiksi.
Greene tampil baik di masa sekarang dalam film (1999) dan masa lampau (1969). Dalam dua era berbeda ini, Greene sedang diwawancara sebuah televisi mengenai Aurora Borealis dengan nama asli: Prof. Brian Greene. Yang satu (1999) tampak tua, sedangkan yang lain (1969) nampak muda dan gagah. Tapi, Greene lahir pada tahun 1963, yang membuatnya baru berusia 6 tahun saat diwawancara pertama kali — berbeda dengan yang di film, tampak berusia sekitar 30-an. Yah, cacat sedikit tidak mengapa, asal Greene bisa sedikit narsis hehehe.
0 komentar:
Posting Komentar